
Ini adalah tulisan saya tgl. 14 November
2002. Waktu itu saya kirim ke salah satu
rubrik kerja di online newsletter.
Supaya lebih enak dibaca di forum ini,
saya edit seperlunya.
Gaya kepemimpinan merupakan satu
Gaya kepemimpinan merupakan satu
kesatuan dari pribadi seseorang.
Sebagai bagian dari kepribadian,
tentu gaya ini akan mengikuti atribut orang itu, baik dalam
masyarakat, lingkungan pekerjaan, maupun sebagai
anggota keluarga.
Saya bekerja paruh waktu saat saya masuk SMA. Jika
dihitung sampai sekarang, saya sudah pernah beradaptasi
dengan 15 orang atasan. Terlepas dari baik buruk tabiat
mereka, dari merekalah saya belajar, hingga saat ini.
Perusahaan tempat saya bekerja sekarang mempunyai kultur
dan filosofi perusahaan yang baik. Namun gaya kepemimpinan
tidak bisa diatur sesuai maunya kita. Gaya kepemimpinan
itu harus sesuai dengan apa yang sudah digariskan dari
sononya, sehingga saat diterapkan di kultur kita, terasa
sedikit kaku dan tidak fleksibel. Namun itu hanyalah gaya
kepemimpinan secara objektif perusahaan. Secara individual,
toh semua akan kembali ke gaya asli atasan yang bersangkutan.
Nah... dari semua karakter atasan yang saya temui, saya
sangat mengagumi atasan yang bisa menerapkan etika bisnis
dengan proporsional, mau mendengarkan, berempati dan tentu
saja, perlu bisa diajak diskusi.
Sebagai nakhoda, atasan saya perlu punya visi dan misi.
Dia juga perlu punya naluri yang tajam untuk mengarahkan
bisnisnya. Bagaimana saya bisa sigap bertindak kalau saya
tidak tahu visi dan misinya? Kalau dia harus duduk bersama
saya 8 jam sehari hanya untuk mengarahkan saya bekerja,
bagaimana dia punya waktu untuk fokus membuat strategi yang
lebih bagus? Jadi menurut saya, atasan yang inspirasional
mustinya sudah punya visi dan misi untuk perusahaan itu
berjalan. Lagi-lagi, atasan perlu kemampuan untuk melakukan
review, memastikan setiap milestones yang sudah dan akan
dicapai sesuai dengan visi dan misi perusahaan.
Atasan yang bisa memberikan empowerment juga penting. Dengan
demikian saya mengetahui sampai di mana batas saya boleh
‘bermain’ dan kapan harus berkonsultasi untuk menyelaraskan
langkah. Dia juga harus punya hati yang besar untuk mempercayai
anak buah, nggak enak kan kalo kerja dan dicurigai terus?
Kemudian, atasan boleh marah nggak? Saya pernah punya atasan
yang dianggap pemarah. Tapi saya ingin mencoba melihat dari
sisi lain. Marah itu diperlukan kadang-kadang, terutama untuk
menghadapi yang ndableg. Selama kita menggunakan bahasa yang
benar, pada orang, waktu dan tempat yang tepat, buat saya,
marah itu perlu.
Menjadi atasan juga berarti, perlu tahu kapan dan bagaimana
informasi yang relevan dan yang perlu diberitahukan ke anak
buah tertentu, supaya operasional tidak terhambat. Saya pikir
ini merupakan wujud empowerment, kepercayaan dan pengakuan
kepada anak buah. Atasan yang takut disaingi, dan pertimbangan
yang lama serta terlalu berlebihan akan merupakan penghambat
kemajuan operasional.
Mmmm … bagi saya, ATASAN itu juga manusia. Jadi sah-sah saja
kalau atasan saya bisa bersikap alamiah dan ekspresif.
Boleh saja dia ketawa lepas bersama atau kadang bertingkah
konyol. Buat saya, dia akan kelihatan lebih manusiawi ketimbang
robot bisnis semata. Toh, sebagai anak buah, kita juga tahu
bagaimana menempatkan diri. Menjadi seorang atasan tidak perlu
berarti jadi sosok yang menakutkan, yang duduk nun jauh di
atas sana, hanya untuk memperoleh wibawa dan pengakuan anak buah.
Saya tidak menuliskan hal yang tidak saya sukai. Dengan membaca
cerita di atas, tentunya yang tidak saya sukai adalah kebalikannya.
Lagipula, lebih mudah sudah merupakan kebiasaan. Kita lebih mudah
mengingat kejelekan seseorang daripada kelebihannya. Dengan
menuliskan kelebihan, saya berharap kita dapat mengingat yang
baik baik saja dan mencoba mengimbangi yang kurang baik.
Salah satu atasan saya pernah memberikan bacaan, bagaimana
hubungan atasan dan bawahan selayaknya layang-layang dan orang
yang menerbangkannya. Perlu energi dan harmonis, melayang
beriring bersama sehingga orang yang melihatnya pun bisa
menikmati keharmonisan itu.
Seperti biasa, easier said than done. Namun katanya pula:
Leaders are Ordinary People With Extraordinary Determination
(Michael Harrison)

No comments:
Post a Comment