Monday, June 23, 2008

perjalanan waktu [1]

Rasanya aku pernah menyusuri lorong yang sama. Persis seperti
saat ini. Cuaca telah begitu tidak bersahabat sejak sore tadi.
Awan menggulung tebal menari bersama angin yang mengalun
membuai pepohonan. Di bawah pohon tinggi dan kekar itu,
sekelompok anak mengenakan putih abu-abu biru masih
bercengkerama. Seakan tidak ingin berpisah satu sama lain,
tersenyum dan tertawa riang ingin melepaskan rangkaian ujian
yang tinggal beberapa hari lagi.

Aku ingat setiap guratan warna di sekeliling tembok itu. Kaca-kaca

etalase menyimpan sejuta kata, mengurai setiap barang yang
ditawarkan di dalam sana. Aku masih merasakan kakiku
melangkah pelan, satu demi satu, merenung sambil mengamati
tiap jendela yang kulewati.

Terdiam sekian detik di pintu itu. Tidak ada yang berbeda dari

pintu-pintu yang telah kujelajahi dengan mata penatku ini. Apakah
yang telah menarikku dengan sangat untuk melangkah ke dalam?
Ah.. hanya toko lukisan Tiongkok kuno dengan guci besar kecil
yang ditata biasa, malah tidak tersusun rapi namun sangat khas
seperti yang biasa kita jumpai pada foyer mall.

Aku mulai memicingkan mata-lingkar-hitamku yang memang

sudah kecil dari sononya. Melalui jendela-jendela kecil yang
tersusun dan berfungsi sebagai pintu itu, aku melirik ke kanan
kiri. Hmm... bukankah aku sedang mencari pasangan lukisan untuk
salah satu sisi rumahku? Barangkali ada yang cocok di dalam.
Tanpa niat yang pasti, aku mulai memegang kisi pintu yang
bertuliskan "DORONG".. terbuka dengan mudah.

Ruangan itu layaknya ruko berubin pucat biasa di lantai dasar.

Tidak terlalu luas jika sudah dipenuhi segala ukuran guci kuno
yang indah berikut semua pajangan khas dari daratan Panda.
Lukisan besar kecil berpasang-pasangan disusun indah di sisi
tangga menuju lantai dua ruko itu. Ruangan sebesar empat kali
empat itu disekat lagi dengan pintu kaca ke belakang.
Opsh.. rupanya bapak penjaga toko itu kini melongokkan
kepalanya. Mungkin baru menyadari ada yang celingak celinguk
di tokonya.

"Cari apa, nak?," tanyanya memulai pembicaraan. Mulai deh

kebiasaan jelekku. Aku enggan berbicara banyak jika pikiran
sedang sengaja kubiarkan mengambang dan menari ke mana-
mana. Lukisan-lukisan indah itu tidak terlalu pas dengan seleraku
atau... oh.. tidak benar, ayo mengakulah, batinku sendiri.
Yang benar adalah, seleraku saat ini memang sedang tidak
menentu. Perasaan hati seakan-akan tidak mau berkompromi.
Biarlah.. mungkin dengan membiarkan mataku menjelajahi
toko indah ini bisa mengangkat sedikit beban pikiranku
untuk sementara.

"Ah tidak beneran nyari, pak. Hanya tertarik dan ingin

melihat-lihat dulu. Saya sedang mencari pasangan lukisan
pemandangan Tiongkok. Tapi saya lihat tidak ada
pemandangan yah?" Sambil bicara, aku mulai menyibukkan
diri, mengamati setiap lukisan yang ada.

"Pak, lukisan yang itu berseri yah? Ada empat semuanya?"
tanyaku langsung sambil menunjuk serangkaian lukisan wanita
di sisi tangga. "Betul, nak. Satu set ini terdiri dari empat lukisan."

"Bapak tahu nggak arti tulisan-tulisannya?" tanyaku agak bingung.
"Itu artinya empat musim, nak. Setiap musim dilukiskan dengan
khas dalam bentuk wanita dan latar belakangnya," demikian si
bapak menjelaskan dengan sabar.

Mataku kini bertindak cepat ingin mengalihkan suasana hati
yang masih mencoba tetap dengan suasana temaram. Aku mulai
tertarik dengan dua lukisan yang berjejer di samping lukisan
empat musim itu. Kelihatannya dua lukisan tersebut juga
merupakan satu paket. “Pak, ini lukisan pendekar kan? Bukankah
biasanya selalu ada empat pendekar?” Aku melihat bapak itu
mulai memasang muka bingung. Mungkin di benaknya berkata
‘orang ini bagaimana sih, kok merasa lebih tahu daripada yang
jual?’ Hahaha.. kadang-kadang sok pintarku kambuh, terlebih
jika sedang tidak ingin kelihatan goblok pada saat pikiran
sedang ngawur begini.

“Tidak, nak. Lukisan ini hanya terdiri dari sepasang saja,”
jelasnya dengan nada mengambang. Hmm.. aku tidak ingin
berargumentasi lebih lanjut. Kembali mataku melirik ke atas
tangga yang sepanjang dindingnya penuh dengan berbagai
jenis lukisan berpasangan yang lain. Namun sejauh-jauh mataku
mencari, dengan cepat sudah dapat kuhitung. Ada tiga set
lukisan wanita yang berbeda-beda namun tetap melambangkan
empat musim. Kemudian ada dua set lukisan anak-anak sebanyak
empat buah di sepanjang tangga bagian dalam. Sedangkan pada
dinding sebelah kanan, masih terpasang satu set lukisan anak-anak
sedang bermain yang khas dengan ikatan rambut di atas dan
agak gundul. Hehehe.. aku terkekeh dalam hati. Aku ingat diriku
sempat juga berfoto dengan rambut diikat ke atas laksana
rayuan pulau kelapa.

Semoga si bapak tidak menyimak hatiku sedikit mengumbar tawa.
Kini aku kembali di tengah tangga, ada lukisan tunggal seorang
wanita yang dikelilingi banyak sekali bunga-bunga mawar merah.
Iseng lagi aku bertanya, “Yang ini artinya apa, pak?”
“Ooo.. kalau yang ini adalah gambar dewi bunga mawar,”
jawabnya masih dengan nada yang sangat sabar.

Aku kembali menghadap dan menatap dua lukisan pendekar di sisi
tangga itu. “Berapa harga lukisan ini, pak?” tanyaku mulai
menimbang apakah memang aku berjodoh dengan sepasang
pendekar ini. “Dua ratus ribu, nak.”

“Dua ratus ribu untuk sebuah lukisan atau sepasang, pak?” mulai
berani mencoba menawar sekarang. “Dua ratus itu untuk sebuah
saja, nak. Itu lukisan bagus, dilukis di atas keramik loh, nak.
Bukan di atas kain.” Nah loh, giliran aku yang terperangah.
Keramik? Sedari tadi aku pikir semuanya lukisan di atas kain
atau kertas seperti yang sudah dipajang di rumah. Aku
kehilangan kata-kata.

Sambil berpikir, si bapak mulai berjalan ke pintu penyekat
belakang dan aku mengikuti. Wah, rupanya ruangan belakang itu
juga penuh dengan guci berbagai warna, corak dan ukuran.
Memang sedang ingin membiarkan diri dibius yang bagus-bagus
begini. Aku selalu bisa saja berlama-lama menikmati satu per
satu pajangan yang ada di situ. Di tengah-tengah tembok
belakang, aku mengamati tulisan bagian daerah daratan Tiongkok
tempat barang-barang ini berasal. Kemudian tepat di depan kami,
ada sebuah meja kecil dan tiga bangku, semuanya berwarna putih.
Di atas meja kecil itu terletak sebuah piring, juga berwarna putih
dengan air bening sekitar 2 mili di dalamnya.

Aku masih saja melirik ke sana kemari ketika bapak itu berkata
dengan suara pelan sambil menunjuk sisi kanan tembok tempat
kami berdiri. “Ini nak. Lukisan tadi cukup besar jika ingin dibuat
profil untuk penyekat ruangan. Kalau mau dua lukisan pendekar
tadi, bisa dijadikan penyekat ruangan seperti ini.”

“Tapi nak, anaknya ada yang perempuan tidak?” tanyanya pelan.
Aku mengernyitkan alis dan menjawab, “Tidak, pak. Anakku
laki-laki, hanya satu. Emang kenapa kalau punya anak perempuan?”

“Oh tidak apa-apa. Kalau anaknya laki-laki hanya satu, satu
pendekar lagi anggap saja untuk ayahnya.” Sekarang giliran aku
yang terdiam. Si bapak memandangku lama tanpa bertanya,
seakan-akan ingin membiarkanku larut sejenak dalam alamku.

“Pak, lain kali saya kembali lagi yah. Tidak apa-apa kan kalau
saya tidak beli sekarang?” tanyaku jengah. “Ah tidak apa-apa, nak.”

Akupun melangkah menuju pintu keluar. Sebelum melewati pintu
depan, aku masih sempat memandang lukisan dua pendekar itu.
Bagaikan ada kekuatan yang menarikku. Kupandangi dalam-dalam.
Jika aku berjodoh, lukisan itu tentu akan menungguku kembali.

No comments: